Home | Puisi | Oase | Hehe | aku | Gallery | Links | Friends | BukuTamu |
KAMU
Tak terbayangkan akan sampai begini Dwi. Kenangan berderak mengekalkan peristiwa.Hari-hari tergelai.Pertemuan nyaris tak terelakkan.Kita selalu abai menandai segala pemaknaan.Mungkin karena kita percaya tak ada sesuatu yang luput tidak kita genggam.Seperti Air danau yang membening terbaca pada sorot matamu.Saat kita bersipegok, entah di saat kapan dan entah di saat entah..
Tatapan matamu seperti memilin segenap nasibku.
"Cinta adalah sebuah daerah berbahaya.."katamu.
Entah kenapa kau suka sekali menyitir kalimat khairil itu.Mungkin kamu ingin memberi isyarat bahwa hidup adalah sebuah ancaman tersendiri:rawa-rawa menganga tertutup rapi yang suatu saat kita akan terjebak terperosok dan menelan diri kita
Namun ah …cinta adalah pengandaian lain dari pusaran tolakkan yang sulit terumuskan.Ia bisa menjelma menjadi makhluk yang lain.Cinta seperti juga coklat ,kosemetik,tisu atau apapun namanya yang menjadi kelatahan ucapan yang dipintal oleh reproduksi-reproduksi massal sebuah fikiran.
Dwi masih mengelus bulu coki.Kucing Anggora kesayangannya, berwarna hitam kecoklatan.Kucing Dwi yang berwarna merah kesumba yang bernama kiki,suatu malam hilang dicuri orang.Dwi sedih atas hilangnya kiki.Sekarang coki menggelosoh di tumit Dwi yang kegelian terkena bulu-bulu coki, Dwi ketawa.beranjak dari sofa.Coki mengikutinya.
Dwi masuk kamar.Mengabrukkan dirinya di atas spring bed.Gelisah, bangun kembali menuju tape recorder, menyetel Toto: some people leave they dream..some people close their eyes..some people destiny..passes by..Dwi menirukan.Lagu itu membawanya pergi ke sebuah tempat..entah..
Ah.. Dwi berdengung juga suaramu itu.Seperti pernah kamu ucapkan kepadaku entah di saat kapan dan entah di saat entah.Di beranda rumahmu yang diisi dengan pot-pot bunga yang menurutmu kamu sukai.Dari mawar,aster putih,anggrek dan verbena.Di senja yang gemetar oleh gigil ketakutanku untuk mengetuk pintu rumahmu.Namun juga dengan keriangan keremajaanmu yang polos ternyata menyimpan kegenialan yang menakjubkan, hingga aku terpuruk ke sebuah daerah tak bertuan.
Lalu lami bicara tentang perpisahan.
Katamu,"..ton nampaknya bagimu perpisahan adalah sesuatu yang sedih dan tak tertebuskan.."ia membuka pembicaraan.
"Perpisahan adalah sebuah kemalangan adalah jelas.Tapi ton..persoalannya adalah di manakah harus kita letakkan risiko seperti ini tanpa harus menghapusnya..karena bagiku pepisahan adalah keputusan dalam memilih hubungan-hubungan yang telah tercipta.dan bukan resiko.Aku ingin kesedihan yang bisa menjadi ukuran dan bukan kesedihan yang terbengkelai disamping tidurku."
Aku tergagap dengan pernyataanya.Dwi menyeduh teh menyodorkannya kepadaku.Blingsatan aku digeramus oleh visinya.Dwi tersenyum menenangkan hatiku digaruk kecamuk yang tak pernah usai kuremuk-remuk.Kuhirup pelan Teh bikinannnya sambil terus menikmati kelincahannya.
"Kau ingin menyederhanakan persoalan sebuah keputusan adalah sebuah pilihan..?!"
akhirnya aku bertanya berat dan pelan.
"ya dan kita harus berani menghadapinya.."
"kita?"
"ya.kenapa?"
"kau tak takut?"
"kenapa?" ia balik bertanya.
"jadi?"
"ya terus!"
"Tapi visi kita berbeda…"
"Itu tak menjadi soal.Kau nampaknya masih hidup dalam potongan-potongan masa lalu. Ton.."
aku terdiam.
Dwi mengelap mulutnya yang berlepotan coklat dengan sapu tangan.Sesaat ia ringan membawaku memasuki dunianya yang lepas ia banyak mengajariku bagaimana menerima segala sesuatunya atas hidup bukan lagi sesuatu beban yang tak tertanggungkan.
Dwi menyorongkanku masuk pada belantara yang selama ini tak aku fahami.Bahwa sebenarnya kecemasan atas misteri hubungan personal yang kulakoni bersamanya adalah karena diciptakan oleh sensasi-sensasi belaka.
Aku tak pernah sungah-sungguh bisa belajar dari penalaran logika yang Dwi terapkan.
Itulah kekonyolan-kekonyolan yang kurasakan.Bahwa aku seperti sindir Dwi’ masih hidup dalam potongan-potongan masa lalu", sepenuhnya aku setujui.Karena aku hanya bisa menandai setiap perubahan yang seakan-akan berlangsung diluar kekuasaanku dan aku hanya sedikit bisa mendekati intuisi subyektifku –bukan logika—untuk mengenalinya.Hanya itu yang bisa aku lakukan.
Jadi ketika Dwi benar-benar pergi meninggalkanku.Usahanya yang keras agar dirinya seperti tak punya masa lampau, berhasil dengan gemilang.entah di saat kapan dan entah di saat entah…masih kuingat peristiwa itu.
Kita berpisah ton..
"ya ",cetusku dingin.
"Tanpa sedih dan marah ..?!"tanyanya
"Ya"
"Seperti sade saat menyanyikan lagunya this is no
ordinary love, no ordinary love.
Maukah kamu menyanyikannya bersama-sama untuk perpisahan kita?"
Tanpa diperintah kami berteriak menyanyikan lagu milik sade.Perpisahan kami rayakan denga riang.Berjalan bergandengan.Makan-makan.Ketawa-ketiwi.Kami berusaha memberikan visi baru tentang perpisahan.Bahwa perpisahan bukanlah sebuah resiko namun sebuah pilihan dari suatu hubungan…
Entah di saat kapan..
Entah di saat entah…
(Cerpen ini didaur ulang dari karya Nurhidayat Poso,Di saat Kapan dan Di saat Entah,Suara Merdeka 6 agustus 1995 hal.4)