Home  |  Puisi   |  Oase   |  Hehe  |  aku  |     Gallery  |     Links  |     Friends  |     BukuTamu  

Merdeka

Gunawan Mohammad

 

 

Merdeka memang tidak mudah.Empat puluh tahun merdeka menunjukkan itu.Saya kenal Pak Jamil.Anda mungkian kenal Wardi atau Johannes.Kita kenal mereka yang tewas dalam berbagai perang saudara dan pemberontakan.Atau kita pernah ketemu dengan mereka yang kemudian lenyap stelah sebuah kerusuhan.

Berapa banyak sudah orang yang mati?Berapa banyak anak-anak yang terbuncang oleh guncangan politik dalam riwayat republik, tersia-sia oleh kekalutan ekonomi atau celaka oleh kesewenag-wenangan?

Merdeka itu ibarat hidup berkeluarga sendiri suatu fluktuasi nasib yang tak bisa disosdirkan lagi ke punggung ornag lain.Sebelum swasembada beras hari ini kita pernah disengat hongerudim.Sebelum zaman aman kita pernah menempuh zaman DI.Hutan pedalaman tak hanya memperdengarkan suara setuling namun juga jadi unggun api pembakaran yang ganas –seperti dengan indahnya dituliskan oleh Ramadhan KH dalam sebuah puisi panjang tentang Priangan.

Dan kita pun hidup dengan trauma.Kita hidup dengan kecemasan.Ketika proklamsi dibacakan di pagi hari yang cerah 17 agustus 1945, kita memang tak membayangkan penuh-penuh bahwa merdeka juga bisa mengandung saat-saat sedih, benci gundah dan ngeri.

Ada benarnya bahwa seharusnya memang kita lebih siap untuk merdeka dan tak asal jadi.Belanda – belanda dulu juga sudah bilang bagwa untuk merdeka kaum imlander harus sedikit lebih matng."Jika seornag anak bertambah dewasa matu tak mau suatu saat akan tiba…ketika ia akan minta kunci pintu depan."

Kata-kata itu diucapkan di tahun 1918 oleh seorang tokoh kolonial H. Colijn.Si " anak", bagi Tuan Colijn adalah Hindia Belanda atau tepatnya Hindia bin belanda atau lebih tepat lagi hindia yang di adopsi oleh Belanda.Sebab bagi Colijn, si "Bapa" adalah sebuah bangsa , sebuah peradaban dan kekuasaan yang berpusat di Den Haag yang kecil itu.Dan di tahun 1918, si anak boleh saja memohon," Bapa kami yang ada di Denhag, berikanlah kami kemerdekaan kami sehari-hari," tapi si bapak harus bilang "tidak", sia anak belum dewasa.

Tapi apakah sebenarnya arti dewasa bagi sebuah bangsa?

Dan atas hak nenek moyang siapa tuan Colijn , pemimpin Anti Revolutionaire Partij itu mengangkat diri dan bangsanya sebagai sang Bapak?

Pertanyaan itu penting sampai hari ini .Sebab Colijn adalah contoh tentang bagaimana suatu kekuasaan mencoba membangun citranya sendiri di cermin.Sementara tidak sadar bahwa cermin adalah sesuatu yang tak pernah diludahi.Yang pernah diludahi adalah petani rempah-rempah yang ladangnya dibakar dan perahunya ditenggelamkan dan pemimpin mereka misalnya Pattimura digantung .Yang pernah dihinakan adalah mereka yang harus secara hargiah benar-benar mencium kaki atau lutut pejabat gubernuren tak boleh masuk kamar bola karena kulitnya cokelat atau tak boleh masuk sekolah tertentu karena ia tidak ningrat.

Bahkan yang ningrat pun bisa terhina .Ada sebuah cerita yang idkisahkan oleh Kartini dalam sepucuk suratnya.Seorang pemuda Jawa yang berbakat dan selalu lulus nomor satu di tiga sekolah lanjutan harus tahu diri setelah satu kejadian yang menyakitkan hati.Ia dihukum dimutasikan ke jabatan yang rendah, hanya lantaran dia berani berbahasa belanda, kepada seorang residen Belanda.Dan di jabatannya yang baru sebagai klerk untuk tuan kontrolir ia harus menaggungkan penghinaan yang lain: atasannya dalah bekas teman sekelasnya yang dulu bodoh.Dia tentu saja ornag putih.Si Jawa harus berbicara bahasa Jawa Kromo kepadanya.Sementara si Putih , bekas siswa yang bebal itu menyahutnya dalam bahasa melayu…

"Saya mencintai orang Belanda , amat, amat sangat," tulis Kartini.Tapi tulisnya selanjutnya," Dalam berbagai cara yang tak terang-terangan mereka membuat kami merasakan ketidaksukaan mereka…Mereka seakan-akan mengatakan, akulah tuan, kamulah yang hamba…"

Kartini meninggal di tahun 1904 tapi di tahun 1918 toh Colijn masih ingin bahwa sang tuan di mata orang Indonesia harap dipandang sebagai "Bapak".Dia lupa bahwa orang-orang inlander yang terhina bukanlah orang yang bisa diharakan merasa diri sebagai"anak" .Dan di ta situ perkara"dewasa" atau "belum dewasa" tidak lagi relevan.Yang relevan adalah kemerdekaan itu sendiri.

Colijn benar bagwa kemerdekaan suatu bangsa mengandung mara bahaya, juga bagi bangsa itu sendiri.Merdeka memang tidak mudah.Tapi sebuah bangsa jadi matang bukan karena taat menunggu, sampai kunci di depan dan hak-hak diserahkan oleh sang bapak kepadanya.Sebuah bangsa jadi matang karena ia bersedia ambil resiko dengan kesalahan .Ia bukan seorang bocah yang selalu dilindungi dari masuk angin atau kepleset.Ia bukan calon menantu yang cukup dibekali harta sebelum kawain.Ia adalah pribadi yang mandiri, liar oleh benturan dan kuat oleh badai.

Kemerdekaan memang sebuah resiko.Siapa yang takut itu biarlah jadi batu.

(catatan pinggir 24 agustus 1985)